1.Albert Enstein
Siapa yang belum tahu Albert Einstein? Dialah Ilmuwan terkenal abad 20 yang terkenal dengan teori relativitasnya. Dia juga salah satu peraih Nobel. Siapa sangka dia adalah seorang anak yang terlambat berbicara dan juga mengidap Autisme. Waktu kecil dia juga suka lalai dengan pelajaran.
2.Ludwig Van Beethoven
Jika anda mengenal seorang wanita yang sedang hamil, yang telah mempunyai 8 anak, tiga diantaranya tuli, dua buta, satu mengalami gangguan mental dan wanita itu sendiri mengidap sipilis, apakah anda akan menyarankannya untuk menggugurkan kandungannya? Jika anda menjawab ya, maka anda baru saja membunuh salah satu komponis masyur dunia. Karena anak yang dikandung oleh sang ibu tersebut adalah Ludwig Van Beethoven.
Ketika Beethoven berumur di ujung dua puluhan, tanda-tanda ketuliannya mulai tampak, tapi akhirnya ia menjadi Komponis yang terkenal dengan karya 9 simfoni, 32 sonata piano, 5 piano concerto, 10 sonata untuk piano dan biola, serangkaian kuartet gesek yang menakjubkan, musik vokal, musik teater, dan banyak lagi.
Senin, 13 Juni 2011
Gombalan Maut Ala Bapakmu (OVJ)
A:Bapak kamu tukang rujak ya?
B:Koq kamu bisa tau?
A:Karena kamu telah mengulek hatiku 8)
A: Bapak kamu seorang polisi ya?
B: kok tau ?
A: soalnya kamu telah menilang hatiku 8)
A: Bapak kamu seorang pemain catur ya ?
B: iya, kok tau ?
A: soalnya kamu telah menSKAKan hatiku (nyengir)
A: Bapak kamu seorang petani ya ?
B: iya, kok tau ?
A: soalnya kamu telah menaburkan cinta dihatiku (nyengir)
A: Bapak kamu seorang dokter ya ?
B: iya, kok tau ?
A: soalnya kamu telah menyuntikan cinta ke hatiku (nyengir)
A: Bapak kamu pilot ya ?
B: iya, kok tau ?
A: soalnya kamu telah menerbangkan hatiku (nyengir)
A: Bapak mu tukang sate ya?
B: kok tau ?
A: abis kamu telah menusuk-nusuk hatiku (L)
A: Bapak kamu penggemar SMASH ya?
B: eh ko tau?
A: soalnya kamu udah menCENAT CENUT kan hati ku (music)
A: Bapak mu polisi gorontalo yah?
B: iya, kok tau ?
A: Karena kamu telah menchayya-chayya hatikuuww (music)
A: “Bapak kamu pemain gendang ya ?”
B: “iya, kok tau ?”
A: “Karena kamu telah menDUNGDUNGPLAK hatiku (lol)
A: Bapak kamu Gusdur ya ?
B: eh kok tau ?
A: taulah , Gitu Aja Kok Repot
B:Koq kamu bisa tau?
A:Karena kamu telah mengulek hatiku 8)
A: Bapak kamu seorang polisi ya?
B: kok tau ?
A: soalnya kamu telah menilang hatiku 8)
A: Bapak kamu seorang pemain catur ya ?
B: iya, kok tau ?
A: soalnya kamu telah menSKAKan hatiku (nyengir)
A: Bapak kamu seorang petani ya ?
B: iya, kok tau ?
A: soalnya kamu telah menaburkan cinta dihatiku (nyengir)
A: Bapak kamu seorang dokter ya ?
B: iya, kok tau ?
A: soalnya kamu telah menyuntikan cinta ke hatiku (nyengir)
A: Bapak kamu pilot ya ?
B: iya, kok tau ?
A: soalnya kamu telah menerbangkan hatiku (nyengir)
A: Bapak mu tukang sate ya?
B: kok tau ?
A: abis kamu telah menusuk-nusuk hatiku (L)
A: Bapak kamu penggemar SMASH ya?
B: eh ko tau?
A: soalnya kamu udah menCENAT CENUT kan hati ku (music)
A: Bapak mu polisi gorontalo yah?
B: iya, kok tau ?
A: Karena kamu telah menchayya-chayya hatikuuww (music)
A: “Bapak kamu pemain gendang ya ?”
B: “iya, kok tau ?”
A: “Karena kamu telah menDUNGDUNGPLAK hatiku (lol)
A: Bapak kamu Gusdur ya ?
B: eh kok tau ?
A: taulah , Gitu Aja Kok Repot
Cerita garuda di dadaku
Garuda di Dadaku
Pertama kali mendengar judulnya, aku bilang ke temanku film apa ya itu. Judulnya terlalu berat, sepertinya tidak layak tonton, apalagi diliput. “Ini tentang anak kecil yang punya ambisi besar jadi pemain sepak bola,” jawabnya.
Aku mulai tertarik. “Anak itu harus melakukan berbagai cara agar bisa masuk tim nasional karena ditentang kakeknya,” lanjutnya.
Hhmmm … Aku makin tertarik. Aku penasaran bagaimana seorang sutradara Indonesia memfilmkan sebuah ambisi, sebuah motivasi dan keinginan. Aku teringat film Iran, Children of Heaven, yang bercerita tentang seorang anak di Iran, yang saking miskinnya, harus berganti sepatu dengan adiknya, tiap kali ke sekolah.
Ambisinya sederhana : punya sepatu. Ali, sang kakak, divisualkan sutradara film ini Majid Majidi berlatih keras agar bisa mengikuti pertandingan lari. Juara pertama tak diincarnya, karena hadiah kedua lebih menarik : sepasang sepatu. Majid berhasil membuat sebuah film sederhana yang menyentuh, tidak cengeng dan juga tidak minta dikasihani.
Film ini bercerita tentang Bayu, diperankan Emir Mahira, anak kelas enam SD, berumur 12 tahun yang ambisi menjadi pemain sepak bola hebat. Dia punya bakat yang diturunkan dari ayahnya, seorang pemain sepak bola yang meninggal karena kecelakaan. Keinginan itu harus dipendam Bayu, paling tidak disembunyikan dari kakeknya, Usman, dimainkan Ikranegara, yang tak ingin cucunya menjadi pemain sepak bola. Menurut kakek pemain sepak bola tak punya masa depan. Kakek Usman ingin Bayu menjadi orang sukses sehingga harus mengikuti berbagai kurus mulai matematika sampai melukis.
Bayu berteman dengan Heri, diperankan Aldo Tansani, seorang penggila bola yang duduk dikursi roda. Dia penyemangat bagi Bayu dan terus mendorong Bayu untuk ikut seleksi tim nasional usia 13 tahun.
Sutradara Ifah Isfansyah meramunya menjadi film keluarga yang ringan, sedikit lucu dan juga, agak patriotik. Lagu Garuda di Dadaku, yel yel lagu tim nasional tiap kali bertanding di Senayan, cukup membuat gelora tapi tak sampai membuatku merinding. Yang membuatku penasaran adalah judul film itu, yang menurutku sangat berat dan sulit dijual untuk sebuah film komersial, film anak-anak pula.
Ketika kutanya usai pemutaran film, Ifah menjawab begini : film ini dibuat justru karena judul lagu tim nasional itu. Dari lagu itu, cerita ditarik dan dipanjangkan, menjadi sebuah skenario film. Dia menyadari judul yang berat dan tak menjual,” Itu bisa diakali dengan promosi yang benar,” katanya.
Okelah, promosi bagus, kemasan bagus biasanya bisa juga menjaring pasar besar.
Nah, aku berharap, jalan cerita film juga bagus dan istimewa. Aku pengagum film cerita sederhana tapi dengan visualisasi dalam dan matang. Cerita film ini menurutku sederhana, konflik keluarga yang ada di tengah kita dan sangat Indonesia.
Konflik itu ada pada Bayu dan kakeknya. Bayu ingin main bola tapi menjejalinya dengan berbagai kursus. Bayu seorang penurut sehingga ia mengakali dengan sembunyi-sembunyi latihan bola, tentu saja dengan bantuan temannya, Heri yang selalu datang dengan siasat dan strategi. Konfliknya cukup dalam, pergolakan batin Bayu antara menyenangkan kakeknya atau mengikuti kata hatinya.
Sayangnya, penggarapannya datar, sekali lagi ini menurutku. Emosiku tak larut dan tak naik. Visualisasi gambar dan percakapannya, tak lengket di kepalaku. Yang berbayang justru gambar ketika Ali di film Children of Heaven sedang mengejar sepatunya yang hanyut di got. Huh… maafkan saya.
Zahra, seorang anak penjaga kuburan, diperankan Marsha Aruan, muncul menjadi teman Bayu dan Heri. Mereka bertemu di kuburan ketika Bayu dan Heri sedang mencari tempat latihan bola. Zahra membolehkan Bayu berlatih di kuburan itu, dengan syarat harus membersihkan kuburan karena ayahnya sedang sakit. Peran Zahra cukup berat. Dia menjadi anak rebutan ayah dan ibunya yang bercerai. Ayahnya, seorang penjaga kuburan membawa Zahra ke Jakarta dan tak membolehkannya bersekolah, khawatir keluarga ibunya akan menemukannya. Jadilah Zahra seorang anak yang bicara dengan nisan.
Marsha tak terlalu berhasil memainkan karakter itu. Begitu juga pemain lainnya, tak terlalu istimewa, kecuali Bayu yang lumayan berhasil terutama ketika sedang memainkan bola karena dia sudah dua tahun bersekolah di salah satu sekolah sepak bola di Jakarta. Maudy Koesnaedi, ibu Bayu dan Ari Sihasale yang menjadi pelatih sepak bola, juga datar. Untung ada Ramzi yang menjadi Bang Dullah, supir Heri, yang bermain lucu dengan aksen arab betawinya. Lakon Bang Dullah membuat film yang akan diputar 18 Juni ini, lebih hidup.
Apapun, kredit layak diberi pada pembuat film ini, yang berani membuat film berbeda : tak sekadar film anak-anak dan keluarga, tapi juga bicara tentang sepak bola Indonesia. Ada beberapa kritik pedas di film ini tentang dunia sepak bola, yang diamini semua penonton. Kecintaan pada tim nasional coba diangkat, sayangnya kurang berhasil, atau mungkin karena tim nasional juga tak terlalu melekat di hati kita.
Pertama kali mendengar judulnya, aku bilang ke temanku film apa ya itu. Judulnya terlalu berat, sepertinya tidak layak tonton, apalagi diliput. “Ini tentang anak kecil yang punya ambisi besar jadi pemain sepak bola,” jawabnya.
Aku mulai tertarik. “Anak itu harus melakukan berbagai cara agar bisa masuk tim nasional karena ditentang kakeknya,” lanjutnya.
Hhmmm … Aku makin tertarik. Aku penasaran bagaimana seorang sutradara Indonesia memfilmkan sebuah ambisi, sebuah motivasi dan keinginan. Aku teringat film Iran, Children of Heaven, yang bercerita tentang seorang anak di Iran, yang saking miskinnya, harus berganti sepatu dengan adiknya, tiap kali ke sekolah.
Ambisinya sederhana : punya sepatu. Ali, sang kakak, divisualkan sutradara film ini Majid Majidi berlatih keras agar bisa mengikuti pertandingan lari. Juara pertama tak diincarnya, karena hadiah kedua lebih menarik : sepasang sepatu. Majid berhasil membuat sebuah film sederhana yang menyentuh, tidak cengeng dan juga tidak minta dikasihani.
Film ini bercerita tentang Bayu, diperankan Emir Mahira, anak kelas enam SD, berumur 12 tahun yang ambisi menjadi pemain sepak bola hebat. Dia punya bakat yang diturunkan dari ayahnya, seorang pemain sepak bola yang meninggal karena kecelakaan. Keinginan itu harus dipendam Bayu, paling tidak disembunyikan dari kakeknya, Usman, dimainkan Ikranegara, yang tak ingin cucunya menjadi pemain sepak bola. Menurut kakek pemain sepak bola tak punya masa depan. Kakek Usman ingin Bayu menjadi orang sukses sehingga harus mengikuti berbagai kurus mulai matematika sampai melukis.
Bayu berteman dengan Heri, diperankan Aldo Tansani, seorang penggila bola yang duduk dikursi roda. Dia penyemangat bagi Bayu dan terus mendorong Bayu untuk ikut seleksi tim nasional usia 13 tahun.
Sutradara Ifah Isfansyah meramunya menjadi film keluarga yang ringan, sedikit lucu dan juga, agak patriotik. Lagu Garuda di Dadaku, yel yel lagu tim nasional tiap kali bertanding di Senayan, cukup membuat gelora tapi tak sampai membuatku merinding. Yang membuatku penasaran adalah judul film itu, yang menurutku sangat berat dan sulit dijual untuk sebuah film komersial, film anak-anak pula.
Ketika kutanya usai pemutaran film, Ifah menjawab begini : film ini dibuat justru karena judul lagu tim nasional itu. Dari lagu itu, cerita ditarik dan dipanjangkan, menjadi sebuah skenario film. Dia menyadari judul yang berat dan tak menjual,” Itu bisa diakali dengan promosi yang benar,” katanya.
Okelah, promosi bagus, kemasan bagus biasanya bisa juga menjaring pasar besar.
Nah, aku berharap, jalan cerita film juga bagus dan istimewa. Aku pengagum film cerita sederhana tapi dengan visualisasi dalam dan matang. Cerita film ini menurutku sederhana, konflik keluarga yang ada di tengah kita dan sangat Indonesia.
Konflik itu ada pada Bayu dan kakeknya. Bayu ingin main bola tapi menjejalinya dengan berbagai kursus. Bayu seorang penurut sehingga ia mengakali dengan sembunyi-sembunyi latihan bola, tentu saja dengan bantuan temannya, Heri yang selalu datang dengan siasat dan strategi. Konfliknya cukup dalam, pergolakan batin Bayu antara menyenangkan kakeknya atau mengikuti kata hatinya.
Sayangnya, penggarapannya datar, sekali lagi ini menurutku. Emosiku tak larut dan tak naik. Visualisasi gambar dan percakapannya, tak lengket di kepalaku. Yang berbayang justru gambar ketika Ali di film Children of Heaven sedang mengejar sepatunya yang hanyut di got. Huh… maafkan saya.
Zahra, seorang anak penjaga kuburan, diperankan Marsha Aruan, muncul menjadi teman Bayu dan Heri. Mereka bertemu di kuburan ketika Bayu dan Heri sedang mencari tempat latihan bola. Zahra membolehkan Bayu berlatih di kuburan itu, dengan syarat harus membersihkan kuburan karena ayahnya sedang sakit. Peran Zahra cukup berat. Dia menjadi anak rebutan ayah dan ibunya yang bercerai. Ayahnya, seorang penjaga kuburan membawa Zahra ke Jakarta dan tak membolehkannya bersekolah, khawatir keluarga ibunya akan menemukannya. Jadilah Zahra seorang anak yang bicara dengan nisan.
Marsha tak terlalu berhasil memainkan karakter itu. Begitu juga pemain lainnya, tak terlalu istimewa, kecuali Bayu yang lumayan berhasil terutama ketika sedang memainkan bola karena dia sudah dua tahun bersekolah di salah satu sekolah sepak bola di Jakarta. Maudy Koesnaedi, ibu Bayu dan Ari Sihasale yang menjadi pelatih sepak bola, juga datar. Untung ada Ramzi yang menjadi Bang Dullah, supir Heri, yang bermain lucu dengan aksen arab betawinya. Lakon Bang Dullah membuat film yang akan diputar 18 Juni ini, lebih hidup.
Apapun, kredit layak diberi pada pembuat film ini, yang berani membuat film berbeda : tak sekadar film anak-anak dan keluarga, tapi juga bicara tentang sepak bola Indonesia. Ada beberapa kritik pedas di film ini tentang dunia sepak bola, yang diamini semua penonton. Kecintaan pada tim nasional coba diangkat, sayangnya kurang berhasil, atau mungkin karena tim nasional juga tak terlalu melekat di hati kita.
Langganan:
Komentar (Atom)